MTQ Bisa Jadi Jembatan Inovasi Nasional


Penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) selama ini identik dengan lomba membaca, menghafal, dan menulis Al-Qur'an. Namun di tengah pesatnya perkembangan teknologi, masyarakat mulai mendorong agar MTQ juga menjadi ajang kontribusi intelektual umat dalam bentuk yang lebih luas. Gagasan ini bukan sekadar wacana, melainkan peluang nyata untuk menjadikan MTQ sebagai sumber masukan bagi pemerintah dalam menjaring karya-karya umat Islam yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Salah satu bentuk kontribusi baru yang dapat diterapkan adalah lomba menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam bahasa daerah yang selama ini belum tersentuh oleh penerjemahan resmi Kementerian Agama. Hal ini bisa menjadi upaya pelestarian budaya sekaligus dakwah yang membumi. Di berbagai daerah, masih banyak masyarakat yang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia formal, sehingga penerjemahan ke dalam bahasa ibu mereka menjadi langkah krusial untuk memperkuat pemahaman keagamaan.

Apabila terjemahan Al-Qur'an dalam suatu bahasa daerah sudah tersedia, maka cabang lomba bisa diperluas ke penerjemahan kitab-kitab hadits, terutama kutubus sittah, yaitu enam kitab hadits utama dalam Islam. Lomba ini tak hanya akan memperkaya khazanah keislaman dalam konteks lokal, tetapi juga memacu generasi muda untuk memahami warisan keilmuan Islam secara lebih mendalam.

Yang menarik, sistem lomba tidak harus digelar secara langsung. Peserta dapat mengirimkan karya terjemahan mereka jauh hari sebelum MTQ dimulai. Misalnya, jika lomba MTQ akan digelar pada Agustus, maka karya diterima paling lambat sebulan sebelumnya. Hal ini memberikan waktu kepada dewan juri untuk menilai dan memilih pemenang secara obyektif, bahkan sebelum lomba dibuka.

Pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) juga tidak dilarang dalam kategori ini. Justru, penggunaan teknologi semacam itu dapat menjadi salah satu aspek penilaian: bagaimana peserta menggabungkan kecanggihan teknologi dengan pemahaman agama yang mendalam. Dengan begitu, lomba ini tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses dan pendekatan yang digunakan peserta.

Di sisi lain, inovasi dalam MTQ bisa dikembangkan ke bidang lain yang sama sekali baru, seperti lomba desain aplikasi Islami. Peserta bisa diminta membuat prototipe aplikasi yang membantu umat dalam ibadah, belajar fiqih, atau mengakses literatur klasik Islam. Pemenangnya diumumkan saat MTQ berlangsung, sedangkan proses pengembangannya bisa dilakukan berbulan-bulan sebelumnya.

Tak hanya terbatas pada bidang keislaman, MTQ juga bisa menjadi ajang penyaluran minat dan bakat di bidang sains dan teknologi. Misalnya, lomba desain roket untuk siswa madrasah, atau pengembangan drone dengan teknologi sederhana. Lomba-lomba ini bisa membangun semangat inovasi di kalangan pelajar muslim, yang selama ini kurang terakomodasi di event keagamaan berskala nasional.

Untuk menjaga keadilan dan hak kekayaan intelektual, seluruh karya lomba bisa diatur agar menjadi milik bersama antara peserta dan panitia. Artinya, jika karya tersebut akan diterbitkan, diproduksi massal, atau dikomersialkan, maka peserta tetap mendapatkan hak paten sebagai pencipta, sementara panitia berhak mencantumkan namanya sebagai penyelenggara. Skema semacam ini bisa meningkatkan kepercayaan peserta untuk berani menampilkan ide terbaiknya.

Di era media sosial, MTQ juga bisa diperluas dengan lomba pembuatan konten selama acara berlangsung. Setiap peserta, penonton, atau panitia bisa diajak untuk membuat video dokumentasi, liputan, atau kampanye keislaman dengan tagar resmi dari MTQ. Nantinya, karya yang mendapatkan jumlah tayangan atau interaksi terbanyak akan mendapat penghargaan khusus saat penutupan.

Melalui pendekatan ini, MTQ tidak hanya menjadi ajang kompetisi dalam membaca Al-Qur'an, tetapi juga menjadi festival ilmu, budaya, teknologi, dan partisipasi masyarakat yang lebih luas. Inisiatif-inisiatif ini membuka pintu bagi masyarakat untuk menyumbang pemikiran, teknologi, bahkan solusi konkret untuk masalah sosial-keagamaan di sekitarnya.

Pemerintah dapat memetik manfaat besar dari model MTQ semacam ini. Karya-karya yang masuk dalam lomba bisa menjadi sumber inspirasi dan data kebijakan, misalnya untuk mendukung program literasi Al-Qur'an di daerah terpencil atau mempromosikan bahasa daerah sebagai alat dakwah.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam skala besar bisa menjadi indikator semangat keagamaan dan kreativitas warga. Pemerintah tak perlu lagi menebak-nebak apa yang dibutuhkan umat, karena mereka sendiri telah menyampaikan gagasannya lewat karya. Dengan mengundang partisipasi publik dalam lomba-lomba MTQ yang inklusif, pemerintah sejatinya sedang membuka ruang dialog yang kreatif dan solutif.

MTQ juga bisa menjembatani dunia pesantren dan dunia teknologi. Santri bisa berkolaborasi dengan mahasiswa teknik atau desainer grafis untuk menciptakan aplikasi islami yang bermanfaat. Kolaborasi lintas disiplin ini jarang terjadi jika tidak disatukan dalam ruang kompetisi yang kondusif.

Ke depan, MTQ versi baru ini bisa menjadi cetak biru untuk perhelatan keagamaan lain, baik di lingkungan Kemenag maupun ormas Islam. Model lomba yang berbasis partisipasi terbuka, pemanfaatan teknologi, dan kepemilikan karya bersama bisa memperkuat semangat gotong royong umat Islam dalam membangun bangsa.

Penyelenggaraan MTQ selama ini sudah baik dan layak diapresiasi. Namun gagasan perluasan cabang lomba seperti ini menunjukkan bahwa even tersebut masih sangat mungkin dikembangkan sebagai kanal kontribusi sosial-intelektual umat. Dan ketika MTQ bisa berperan dalam mendeteksi aspirasi umat melalui karya nyata, maka pemerintah tidak perlu menunggu demo atau petisi untuk mendengar suara masyarakat.


Share on Google Plus

About peace

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :