Di berbagai penjuru dunia, konflik bersenjata terus menyisakan luka dan penderitaan bagi jutaan warga sipil. Dari Suriah hingga Yaman, dari Sudan hingga Somalia, pertempuran berkepanjangan tak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merusak tatanan sosial dan masa depan bangsa. Di tengah situasi pelik itu, dialog muncul sebagai jalan paling masuk akal dan manusiawi untuk memecah kebuntuan serta merajut kembali perdamaian.
Dialog, baik dilakukan secara langsung maupun melalui perantara, terbukti mampu meredakan ketegangan dan membuka ruang kompromi. Peristiwa terbaru di Suriah menjadi bukti nyata bagaimana pertemuan antara pihak-pihak yang selama ini berseteru akhirnya dapat duduk satu meja demi mencari solusi bersama. Delegasi politik dan militer dari timur laut Suriah baru-baru ini tiba di Damaskus untuk bertemu dengan pemerintah transisi Suriah dalam pertemuan yang dimediasi oleh Amerika Serikat dan Prancis.
Langkah ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya yang berlangsung pada 1 Juni, di mana perwakilan dari Administrasi Otonom Suriah Timur Laut mengadakan dialog dengan pejabat Damaskus. Agenda utamanya adalah membahas implementasi kesepakatan yang telah dicapai antara Presiden Transisi Suriah Ahmad al-Sharaa dan Panglima Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi. Kesepakatan tersebut memuat kerangka kerja bagi kerja sama selama masa transisi politik di Suriah.
Dialog tersebut juga didukung pembentukan komite negosiasi yang bertugas mewakili kepentingan timur laut Suriah dalam perundingan dengan pemerintah pusat. Komitmen ini menandakan bahwa meski konflik telah berlangsung lebih dari satu dekade, masih ada itikad dari kedua pihak untuk mencari titik temu dan menjaga keutuhan negara.
Menariknya, dalam kesempatan wawancara, Utusan Khusus AS untuk Suriah, Thomas Barrack, menyebut pemerintah Suriah menunjukkan “antusiasme luar biasa” untuk mengintegrasikan SDF ke dalam institusi negara. Hal ini dilakukan dalam kerangka prinsip "satu negara, satu bangsa, satu tentara, satu pemerintah". Sikap tersebut menandakan bahwa dialog bisa menjadi pintu masuk untuk rekonsiliasi tanpa harus mengorbankan kedaulatan.
Sayangnya, di banyak konflik serupa, negara-negara besar justru lebih sering bermain di balik layar, memanfaatkan situasi untuk kepentingan geopolitik sempit. Alih-alih memediasi, mereka terkadang justru mengompori salah satu pihak demi mempertahankan pengaruh di kawasan. Padahal, peran sebagai mediator netral jauh lebih mulia dan bermanfaat dalam membangun perdamaian jangka panjang.
Model dialog seperti di Suriah ini seharusnya bisa diterapkan di berbagai wilayah konflik lain, seperti di Yaman, di mana perang saudara berkepanjangan antara kelompok Houthi dan pemerintah resmi masih terus berlangsung. Dialog langsung atau melalui pihak ketiga yang netral sangat dibutuhkan untuk meredakan permusuhan dan menyusun peta jalan politik yang disepakati bersama.
Begitu pula di Sudan, khususnya pasca krisis berdarah di Khartoum dan Darfur. Dialog antara militer, kelompok sipil, serta perwakilan etnis minoritas dapat menjadi awal bagi terbentuknya kembali negara yang inklusif. Hal serupa juga perlu dilakukan di Somalia, yang sejak lama dihantui ketegangan antara pemerintah pusat dan kelompok-kelompok bersenjata seperti Al Shabab.
Kawasan Sahel di Afrika Barat pun menghadapi tantangan serupa. Di Mali, Burkina Faso, dan Niger, konflik bersenjata antara pemerintah dengan kelompok separatis Azawad serta milisi radikal menuntut solusi politik yang adil. Dialog dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk kelompok-kelompok pemberontak, perlu difasilitasi oleh komunitas internasional tanpa keberpihakan.
Kepentingan rakyat di wilayah-wilayah itu harus menjadi prioritas utama. Keamanan dan kesejahteraan masyarakat tak akan tercapai jika konflik terus dipelihara hanya demi kepentingan politik elite atau negara asing. Oleh sebab itu, AS, Eropa, dan kekuatan dunia lain seharusnya mengambil posisi sebagai mediator damai, bukan sekadar pemain geopolitik yang mementingkan diri sendiri.
Perdamaian yang diraih melalui dialog terbuka akan jauh lebih kokoh ketimbang solusi kekerasan atau intervensi militer sepihak. Model negosiasi seperti yang kini berlangsung di Suriah bisa menjadi contoh baik. Meski tidak mudah, langkah kecil seperti membangun komunikasi antar pihak adalah awal yang penting.
Bila kekuatan dunia betul-betul konsisten dalam mendorong dialog, peluang damai di kawasan konflik lainnya pun akan terbuka lebar. Namun jika mereka terus bersikap ambigu, konflik akan terus berlangsung, dan rakyatlah yang menjadi korban utama. Dunia seharusnya belajar bahwa perang modern tak lagi menyisakan pemenang sejati.
Di tengah dunia yang makin terhubung ini, perdamaian bukan lagi urusan lokal satu bangsa, melainkan tanggung jawab bersama. Dialog adalah solusi jitu untuk memutus siklus kekerasan dan menyusun masa depan baru yang lebih adil. Inilah saatnya kekuatan global menjunjung peran mediator, bukan provokator.
Apalagi di era informasi saat ini, suara rakyat dari medan konflik bisa langsung didengar dunia. Aspirasi damai mereka layak dikawal dan diakomodasi. Dialog terbuka, didampingi komunitas internasional yang jujur dan netral, adalah langkah paling rasional untuk menyudahi derita yang telah terlalu lama berlangsung.
0 komentar :
Posting Komentar